<p>JAKARTA – Pernahkah Anda membeli sepatu lari mahal, lalu mendadak merasa pakaian olahraga lama tampak tak lagi layak pakai? Tanpa disadari, satu keputusan belanja dapat memicu rangkaian pengeluaran lain yang sebelumnya tidak masuk rencana.</p><p>Dalam kajian psikologi dan ekonomi perilaku, pola konsumsi berantai ini dikenal sebagai Diderot Effect. Konsep tersebut menjelaskan mengapa peningkatan pendapatan atau kenaikan gaji tidak selalu berujung pada kondisi finansial yang lebih sehat, melainkan justru mendorong akumulasi barang dan pengeluaran baru.</p><p>Bagi investor saham, memahami jebakan ini menjadi hal yang sangat penting. Keuntungan investasi maupun dividen yang diperoleh dengan upaya tidak sedikit kerap habis bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan dorongan untuk menyesuaikan gaya hidup. Berikut empat fakta penting terkait fenomena tersebut.</p><ul><li>Baca Juga: <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.id/tren-pasar/berebut-saham-supa-pesanan-tembus-1-juta-ritel-dapat-remahan"><strong>Berebut Saham SUPA: Pesanan Tembus 1 Juta, Ritel Dapat Remahan</strong></a></li></ul><h2>1. Asal-Usul 'Jubah Sutra' Denis Diderot</h2><p>Istilah ini diambil dari pengalaman filsuf Prancis abad ke-18, Denis Diderot. Kisah bermula saat ia menerima hadiah jubah tidur sutra yang sangat mewah. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi kecemasan saat ia melihat perabotan kamarnya yang sederhana terlihat usang.</p><p>Satu per satu, Diderot mulai mengganti barang lamanya demi keselarasan visual. Kursi kayu diganti sofa kulit, meja kerja diperbarui, hingga hiasan dinding. Ia terjebak dalam spiral konsumsi hanya untuk menyeimbangkan standar estetika jubah barunya tersebut.</p><p>Akhirnya, sang filsuf justru terlilit utang menumpuk akibat dorongan impulsif itu. Ia menyadari bahwa dirinya telah diperbudak oleh barang mewah yang dimilikinya, padahal sebelumnya ia merasa menjadi penguasa mutlak atas barang-barang lamanya yang sederhana.</p><ul><li>Baca Juga: <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.id/tren-pasar/profil-andre-soelistyo-sang-arsitek-goto-kembali-ke-dewan-komisaris"><strong>Profil Andre Soelistyo: Sang Arsitek GOTO Kembali ke Dewan Komisaris</strong></a></li></ul><h2>2. Bahaya Eskalasi Gaya Hidup</h2><p>Fenomena ini sangat berbahaya karena menyerang sisi psikologis dan identitas pemilik modal. Banyak artikel finansial menyarankan berhemat, namun jarang membahas pemicu bawah sadar ini. Pembelian satu barang premium sering kali memicu hasrat membeli barang pelengkap lainnya.</p><p>Contoh nyata adalah saat seseorang membeli ponsel pintar keluaran terbaru. Otak secara otomatis menuntut aksesoris yang selevel, seperti penyuara telinga nirkabel atau langganan layanan awan. Eskalasi gaya hidup ini terjadi tanpa disadari demi menciptakan kesatuan identitas semu.</p><p>Bagi investor saham, efek psikologis ini adalah musuh utama pertumbuhan aset. Keuntungan dividen atau keuntungan modal yang seharusnya diputar kembali untuk bunga majemuk justru habis terpakai untuk belanja konsumtif demi menuruti ego gaya hidup.</p><h2>3. Jebakan Status dan Identitas</h2><p>Pembelian barang berbasis status sering menjadi pemicu awal rantai pengeluaran ini. Memiliki mobil mewah bukan hanya soal membayar cicilan, tetapi juga biaya bensin kualitas tinggi, pajak progresif, hingga tuntutan gaya hidup sosial yang menyesuaikan kendaraan tersebut.</p><p>Investor harus berhenti membangun identitas diri melalui kepemilikan barang fisik semata. Kekayaan sejati sejatinya adalah apa yang tidak terlihat oleh mata orang lain. Fokus pada fungsi barang jauh lebih bijak daripada sekadar mengejar gengsi sosial semata.</p><p>Uang yang mengendap di rekening dana nasabah atau portofolio saham jauh lebih bernilai. Aset investasi memiliki potensi pertumbuhan nilai di masa depan, berbeda dengan tumpukan barang konsumtif yang nilainya terus turun karena penyusutan harga.</p><h2>4. Strategi Putus Rantai Boros</h2><p>Memahami psikologi di balik pengeluaran adalah langkah awal menghentikan kebiasaan boros ini. Strategi efektif yang bisa diterapkan adalah aturan "beli satu, buang satu". Setiap kali membeli barang baru, satu barang lama harus disumbangkan atau dijual.</p><p>Metode ini mencegah penumpukan barang di rumah dan memaksa otak berpikir rasional. Pertimbangan matang diperlukan sebelum memutuskan transaksi, apakah barang baru tersebut benar-benar bernilai atau hanya keinginan sesaat. Hal ini efektif mengerem impuls belanja yang tidak perlu.</p><p>Masalah keuangan sering kali bukan soal matematika atau kurangnya pendapatan, melainkan isu sosiologis. Kemampuan menahan diri untuk tidak masuk spiral konsumsi adalah kunci sukses finansial. Jubah sutra baru jangan sampai mengendalikan isi dompet pemiliknya.</p><blockquote><p>Tulisan ini telah tayang di <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.id/read/mengenal-diderot-effect-jebakan-psikologis-bikin-investor-gagal-kaya">www.trenasia.id</a> oleh Alvin Bagaskara pada 18 Dec 2025&nbsp;</p></blockquote><blockquote><p>Tulisan ini telah tayang di <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://balinesia.id/read/kenali-diderot-effect-jebakan-psikologis-yang-memicu-kegagalan-investor">balinesia.id</a> oleh Redaksi pada 18 Des 2025 &nbsp;</p></blockquote>

JUSTINA.png

Sering Dapat Undangan Pernikahan Justru Bikin Boros? Ini Cara Menyiasatinya


Kenali Diderot Effect: Jebakan Psikologis yang Memicu Kegagalan Investor 

Diderot Effect menjelaskan mengapa membeli satu barang baru memicu pemborosan berantai. Simak bahaya psikologis ini bagi keuangan dan cara mengatasinya.

Merasa Logis, Padahal Menjebak: Mengenal Diderot Effect dalam Dunia Investasi